“Mangan kok nggak ana enggak-enggok e!”
Itu yang kerap kali dilontarkan oleh Mbah Ti, panggilan saya dan cucu lain pada Mbah Putri, setiap melihat salah satu dari anggota keluarga kami makan tanpa kerupuk. Enggak-enggok yang dimaksud adalah pergantian tangan kanan dan kiri menyuap ke mulut. Tangan kanan menyuap nasi dan lauk, entah dengan sendok atau muluk. Tangan kiri berfungsi memegang sekaligus menyuap kerupuk.
Selain enggak-enggok, menurut Mbah Ti, makan dengan kerupuk juga akan menimbulkan nuansa yang riuh karena suara kriuk dari kerupuk.
Mbah Putri yang tinggal bersama keluarga inti kami sejak 20 tahun silam sering memastikan ada kerupuk tersedia di meja makan. Sepanjang ingatan saya, kerupuk jarang absen menemani makan keluarga kami. Kerupuk memiliki dua fungsi di meja makan kami. Yang pertama sebagai teman makan, kedua sebagai cemilan.
Sebagai teman makan, posisi kerupuk ada di tengah meja. Disimpan dalam wadah kedap udara sehingga tetap renyah. Terkadang, Mbah Ti menambahkan lembaran koran pada bagian atas toples, sebelum ditimpa dengan tutup toples.
“Ben singset dan ora gampang mlempem!” ujarnya. Agar singset dan tidak mudah melempem.
Varian kerupuk yang biasanya menjadi teman makan Mbah Ti adalah kerupuk udang, kerupuk puli yang terbuat dari beras, dan kerupuk putih. Kerupuk putih adalah kerupuk generik yang sering kali dijajakan oleh tukang sayur keliling. Sering pula dijumpai dalam kaleng-kaleng berwarna biru atau hijau di warung sayur atau warung makan. Jika kerupuk putih sifatnya siap santap, lain hal dengan kerupuk udang dan kerupuk puli. Kerupuk udang dan puli harus digoreng terlebih dulu oleh Mbah Ti atau asisten rumah tangga sebagai tambahan sajian makan.
Menurut Mbah Ti, setiap makanan ada pasangan kerupuknya masing-masing. Kerupuk udang cocok disandingkan dengan sop, rawon, nasi goreng, atau capcay. Kerupuk puli adalah pelengkap pecel, selain tentunya ditambahi dengan peyek kacang atau kedelai. Maklum keluarga besar Mbah Ti dan mama saya berasal dari daerah Jawa Timur yang terkenal akan pecelnya. Kerupuk putih pasangannya lebih banyak seperti oseng dan tumis yang ragamnya sangat banyak di Indonesia.
Jenis kerupuk yang kerap menjadi bahan camilan di keluarga kami adalah emping melinjo, kerupuk pati singkong atau opak, dan rengginang. Jika toples kerupuk sudah tersisa sedikit, Mbah Ti akan sigap menggoreng persediaan kerupuk yang ada di rumah kami. Entah itu kerupuk udang, rengginang, atau emping melinjo.
Dari Mbah Ti, kami para cucu belajar cara menggoreng kerupuk yang benar. Langkah pertama, pastikan kerupuk tidak lembab. Jika lembab, kerupuk bisa dijemur terlebih dulu sampai kering. Lalu siapkan minyak panas dalam wajan. Minyak harus banyak karena syarat menggoreng kerupuk adalah memasukkan semua bagian kerupuk dalam minyak panas.
“Nek ora akeh minyak, kerupuk e kemringkingen,” jelas Mbah Ti.
Kemringkingen sendiri merupakan bahasa Jawa yang merujuk pada hasil gorengan yang tidak sempurna. Biasanya kerupuk tidak mekar dan keras saat di makan.
Minyak pun tidak boleh terlalu panas karena kerupuk akan cepat gosong sebelum mekar dengan sempurna. Setelah memastikan minyaknya panas ideal, kita bisa memasukkan kerupuk mentah ke dalam wajan. Jangan lupa melakukan gerakan menekan dan memutar kerupuk agar bentuknya sempurna, tidak menggulung dan matang merata. Setelah berwarna kuning agak keemasan, kerupuk siap diangkat. Untuk meniriskan kerupuk, Mbah Ti menyiapkan tampah besar yang sudah dilapisi oleh koran bekas. Jika suhu sudah turun, kerupuk siap dipindahkan dan disimpan di dalam toples.
Di saat masa jayanya, saat belum mengalami nyeri lutut, Mbah Ti selalu menggoreng dalam posisi duduk di atas dingklik. Alih-alih menggunakan kompor gas, beliau selalu menggunakan kompor minyak tanah. Alasannya kompor minyak dapat diletakkan di lantai sehingga beliau bisa menggoreng sambil duduk santai di atas dingklik. Masih menurut beliau, menggoreng peyek pun paling pas dilakukan sama duduk di atas dingklik. Saya perhatikan, kegiatan menggoreng kerupuk ini tampaknya menjadi salah satu aktivitas me-time beliau. Menggoreng dengan penuh cinta, tanpa terburu- buru.
Akan tetapi, besar dengan kebiasaan ada kerupuk di meja makan tidak lantas membuat saya selalu menyediakan kerupuk saat sudah hidup berkeluarga. Hanya sesekali ada kerupuk karena kedua anak saya bukan fans kerupuk. Apalagi saat ini informasi tentang kesehatan sudah banyak sekali, termasuk tentang berapa banyak kalori yang terkandung di dalam sebuah kerupuk yang membuat kami berpikir ulang saat hendak menyantap sebuah kerupuk. Konon katanya satu kerupuk putih setara 100 kalori.
Pernah suatu ketika Mbah Ti menginap di rumah kami yang hampa tanpa kerupuk. Seperti biasa beliau selalu duduk di depan rumah untuk mencari matahari pagi. Kebetulan, seorang tukang kerupuk berhenti tepat di rumah kami saat Mbah Ti sedang bersantai. Tukang itu hendak menukar kaleng kerupuk di warung burjo yang lokasinya tepat di sebelah rumah. Seperti melihat harta karun, Mbah Ti lantas dengan sigapnya memanggil sang tukang kerupuk dan bertanya harga kerupuk itu. Dengan tertatih-tatih karena kondisi lutut yang kurang bersahabat, beliau masuk ke dalam rumah dan mengambil uang.
“Tuku kerupuk. Toplesmu kosong!” ujar Mbah Ti, ketika saya tanya kenapa kok sibuk keluar- masuk rumah. Oh, maafkan cucumu, Mbah Ti…
(Artikel ini dimuat di Bumbu magazine Vol 3, Issu 1, Maret 2022)
No Comment