Ketika lebaran tiba, opor ayam bukanlah primadona di keluarga kami. Justru, sudah berpuluh tahun soto Banjar selalu menjadi hidangan hari raya idul fitri di keluarga kami. Rentang waktu puluhan tahun tidak berlebihan karena sejak saya kecil, mama tidak pernah absen memasak soto Banjar. Sampai saat sekarang usia saya masuk kepala empat.
Ketupat dan opor adalah makanan yang sering diasosiasikan dengan hari raya Idul Fitri di Indonesia. Namun di beberapa daerah, sajian hari raya justru bukan lontong opor. Di Sulawesi Selatan, misalnya, buras dan coto Makassar lumrah menjadi santapan saat hari besar itu tiba. Begitu pula di Banjarmasin, tempat saya berasal. Soto Banjar menjadi hidangan utama baik untuk disantap oleh keluarga maupun dihidang untuk tamu.
Meskipun sudah berpindah-pindah domisili dari Banjarmasin ke Semarang, lalu ke Cirebon, lantas ke Jakarta, dan sampai saat ini menetap serta membangun keluarga di Yogyakarta, soto Banjar selalu tersaji di saat hari raya. Kebiasaan ini tidak bisa kami hilangkan begitu saja. Kesibukan mempersiapkan soto Banjar ini biasanya dimulai satu minggu sebelum hari raya. Mama selalu memesan ayam kampung yang cukup besar di tukang ayam langganan. Ayam kampung adalah kunci untuk mendapatkan kaldu ayam gurih pada soto Banjar.
Kemudian, beberapa hari jelang lebaran, Mama akan mendatangi pasar di dekat rumah untuk membeli ubo rampe soto, mulai dari telur bebek, soun, hingga singkong. Kenapa singkong? Karena perkedel singkong adalah syarat lengkap hidangan soto Banjar. Perkedel kentang tidak kami gunakan, karena kami selalu merindukan soto Banjar yang otentik dengan perkedel singkong, seperti yang disajikan di daerah asalnya, Banjarmasin.
Telur pun wajib telur bebek karena ukurannya yang besar dan kuningnya yang lebih cantik ketimbang telur ayam. Belum lagi rasa gurihnya yang lebih nendang di lidah. Saya ingat sekali, salah satu warung soto Banjar yang populer dan kerap kami sambangi saat kecil menggunakan telur bebek sebagai pelengkapnya. Suwiran ayamnya melimpah ruah. Pelanggan bisa menambahkan ekstra daging ayam seperti paha, sayap, atau hati. Jika ingin lebih istimewa, pelanggan bisa memesan sate ayam khas Banjar yang bumbu kacangnya semu kemerahan.
Walau bukan berasal dari Banjarmasin, Mama piawai memasak soto Banjar. Kepiawaian tersebut buah dari belajar serta praktik bertahun-tahun. Beliau selalu berupaya agar soto Banjar di rumah kami sama rasanya dengan soto banjar yang biasa kami nikmati saat bermukim di sana. Perkedel selalu singkong, pugasan telur bebek rebus, dan rasanya tidak pernah manis walau kami sudah bertahun-tahun tinggal di Yogyakarta.
Selain mengandalkan ayam kampung sebagai bahan utama kuah, soto Banjar juga dimasak dengan beragam rempah yang beraroma kuat. Pernah suatu ketika, saya memberikan oleh-oleh mie instan rasa soto banjar pada seorang kawan kos. Reaksi yang terlontar saat pertama mencium aroma bumbu soto adalah “baunya kayak jamu”. Ini rupanya berasal dari aroma salah satu rempahnya, yaitu kas-kas. Kas-kas memang merupakan rempah wajib, ia berasal dari tanaman poppy. Rempah ini umum digunakan dalam masakan Timur Tengah seperti kari atau nasi kebuli.
Di Yogyakarta ternyata tidak mudah untuk mendapatkan kas-kas. Namun rupanya Mama sudah tahu di mana menemukannya. Langganannya terletak di lapak di pasar Beringharjo yang menyediakan rempah lengkap termasuk kas-kas. Rempah khas Kalimantan ini akan dimasukkan bersama dengan rempah lain di Soto Banjar, seperti kayu manis, kapulaga, merica butiran, cengkeh, dan kapulaga.
Yang agak berbeda dari soto Banjar kami selama tinggal di pulau Jawa adalah ketupatnya. Ketupat di Banjarmasin terbuat dari beras yang pera, sedangkan ketupat Jawa berbahan beras pulen. Di Banjarmasin, ketupat untuk soto dapat diiris tipis tanpa hancur. Sedangkan ketupat di Jawa akan hancur jika diiris tipis.
Selain ketupat, yang juga sering tidak dapat kami cari adalah jeruk yang kerap menjadi pelengkap soto. Di Banjarmasin, soto banjar dikucuri dengan limau kuit, jeruk yang baunya sangat khas. Di Yogyakarta, limau kulit ini sulit sekali didapatkan. Padahal, wangi limau kulit yang sangat khas akan menguar setelah dikucurkan ke atas kuah soto yang panas. Sebagai gantinya kami memakai jeruk nipis walaupun aromanya sulit menandingi aroma limau kuit.
Saat hari raya, soto Banjar menjadi sajian yang menyegarkan di antara hidangan bersantan seperti opor. Setelah saya menikah, soto Banjar menjadi hidangan hari raya kedua di keluarga orangtua saya. Pasalnya di hari pertama, Mama dan Papa menikmati kiriman opor lengkap beserta sambal goreng krecek dari Ibu mertua.
Di hari raya yang kedua, orang tua saya akan menjamu keluarga mertua yang selalu datang bersilaturahmi sebelum melanjutkan perjalanan mudik ke Klaten. Sedari pagi Mama sudah mengomando kami untuk mengiris ketupat dan telur bebek, menyuwir ayam, merajang seledri, dan memotong jeruk. Lalu semua bahan dan pelengkap akan ditata di piring, siap untuk diguyur oleh kuah panas saat tamu datang.
Semangkuk soto Banjar di hari lebaran tak hanya mengenyangkan perut. Seperti layaknya opor bagi banyak kawan kami, soto Banjar juga membangunkan memori-memori lebaran yang tersimpan sejak saya masih kecil.
Baca selengkapnya di artikel “Hidangan Lebaran yang Berbeda: Soto Banjar”, https://tirto.id/gEnT
No Comment